Naik PPN 12%, Rasio Pajak Indonesia Tetap Loyo? Ini Kata Para Ahli!

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 untuk barang mewah, dinilai sejumlah ekonom tak akan signifikan mendongkrak rasio pajak Indonesia. Teuku

Redaksi

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 untuk barang mewah, dinilai sejumlah ekonom tak akan signifikan mendongkrak rasio pajak Indonesia. Teuku Riefky, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI, mengatakan dampak kenaikan PPN terhadap rasio pajak "tidak besar". Target penerimaan negara dari kenaikan ini pun terbatas, mengingat hanya barang mewah yang dikenakan tarif baru. "Potensi kenaikannya terhadap rasio pajak saat ini tidak signifikan," tegas Riefky.

Pendapat senada disampaikan Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Ia memperkirakan tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN hanya sekitar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun. "Jika dihitung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kenaikan rasio pajak kurang dari 0,5%," jelasnya. Pemerintah sendiri menargetkan rasio pajak 10,09% hingga 10,29% di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, serta tambahan penerimaan Rp 75 triliun dari kenaikan PPN.

Naik PPN 12%, Rasio Pajak Indonesia Tetap Loyo? Ini Kata Para Ahli!

Meskipun tak signifikan mendongkrak rasio pajak, Fajry mengakui kenaikan PPN tetap membantu menambah penerimaan pajak. Pemerintah membutuhkan tambahan Rp 327,57 triliun untuk mencapai target penerimaan pajak 2025, dan kenaikan PPN berkontribusi sekitar 25% dari kebutuhan tersebut. Namun, Fajry menekankan, pemerintah butuh strategi lebih cepat dan efektif. "Perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan perbaikan administrasi memang bisa meningkatkan penerimaan, tapi butuh waktu," tambahnya. Ia melihat inilah alasan pemerintah ngotot menaikkan tarif PPN.

Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, menambahkan bahwa target rasio pajak 2025 (10,09%-10,29% dari PDB) bahkan lebih rendah dari rasio pajak tahun ini (10,12%). Ia menilai, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan belum optimal dalam mengenakan pajak transaksi digital, dan fluktuasi harga komoditas juga meningkatkan risiko penerimaan pajak di 2025. "Pergeseran transaksi digital belum diimbangi sistem perpajakan yang memadai," tutup Prianto.

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar